ALJINET BUMIAYU - Candi pancurawis adalah candi yang terletak
di dusun langkap krajan, bumiayu. Merupaka situs sejarah yang ada di
bumiayu. nama candi tersebut di ambil dari nama seorang kyai bernama kyai pancurawis,Yang pada masa itu masa bakti kejayaan mataram,
untuk lebih jelasnya kita bisa ulas lebih dalam lagi kisah nya atau dongengnya di bawah ini :
SETELAH kuda penarik kereta Amangkurat I, kelelahan, mendadak terdengar suara angin menderu dan membahana. Seolah memecah keheningan rombongan Sunan Amangkurat I. Dia dan rombongannya merasa seperti ada yang sedang memburunya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Maka, lari secepatnya adalah pilihan terbaik yang dapat dilakukan rombongan saat itu. Sehingga tempat berlarinya rombongan tersebut oleh masyarakat sekarang dikenal dengan nama Pagojengan, berasal dari kata “nggojeng” yang berarti ; berlari cepat.
Hingga akhirnya, Sunan Amangkurat I dan bala tentaranya memasuki suatu wilayah, dimana rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama “Daha”. Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.
Bukan main sedihnya hati Amangkurat I, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu di suatu tempat yang sekarang bernama Karangjati. Agak lama Amangkurat I dan rombongan berada di tempat tersebut. Dia telah mengalami beberapa peristiwa yang mengguncangkan hatinya.
Saat itu dia baru sadar, jika segela peristiwa yang menyedihkan ini, akibat dia lalai menjalankan amanat sebagai Sultan Mataram. Seperti pesan dan petuah ayahanda dan kerabat keluarga Kesultanan Mataram. Dia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.
Begitu mendalam pula kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian dia meminta izin kepada Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati mengurus kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya. Akibatnya, dengan tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan perjalanan, maka Amangkurat I pun menjadi tidak memiliki semangat.
Satu-satunya harapan yang sekarang dia miliki hanyalah bertemu dengan seseorang yang bisa mengobati kegundahan hatinya dan meluruskan langkah kehidupannya. Sesaat dia memandang sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung Slamet yang menjulang tinggi ke angkasa, didampingi pebukitan yang setia menemani keperkasaannya.
Sementara lerengnya, terhampar area pesawahan yang merupakan panorama keindahan alam sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih dalam kekuasaan pemerintahannya di Mataram dengan masyarakat yang ramah dan religius, begitu pikirnya. Decak kagumnya, mengundang hasratnya untuk memberikan nama wilayah ini dengan nama Bumiayu.
Di sinilah Amangkurat I, kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita yang memikat hatinya. Dia berusaha menghampiri wanita itu, namun semakin cepat dia berusaha meraihnya semakin cepat pula wanita itu lenyap dari pandangan matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah tempat dimana dia melihat wanita itu masuk dan hilang tak berbekas.
Betapa terkejutnya Amangkurat I, ketika mendadak muncul suara tanpa rupa yang menasehatinya supaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk memperolehnya dia harus terus berjalan ke utara bukan ke barat. Di bawah pohon beringin besar, dia tertunduk lesu sembari menyadari kealpaannya selama ini. Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat (yang berarti keramat/wingit atau angker) dan terdapat Candi Kramat yang dipercaya masyarakat setempat dihuni oleh Nyai Rantansari.
Sosok wanita ayu itu juga yang ikut memiliki peran atas penamaan Bumiayu ini. Menurut Sunan Amangkurat I, pemberian nama Bumiayu ini memang selain memiliki panorama alam yang sangat indah, juga karena wilayah ini “dikuasai” oleh Nyai Rantansari yang memiliki kecantikan tiada tanding.
Sementara itu, Desa Daha ini leluhur dan pendirinya berasal dari Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur. Sekarang desa tersebut bernama Negaradaha berada di Wilayah Kecamatan Bumiayu. Di desa tersebut juga terdapat suatu tempat bernama Candi Nyai Rantansari yang dipercaya memiliki hubungan dengan Candi Kramat di Bumiayu yang juga Nyai Rantansari sebagai Danyang yang Mbahurekso tanah Bumiayu.
Dukuh Karangjati terletak di Desa Kalierang, Kecamatan Bumiayu. Terdapat sebuah tempat dimakamkannya Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya, yang sekarang tempat tersebut dikenal oleh masyarakat dengan nama Candi Pancurawis.
Sampai akhir hayatnya, Kyai Pancurawis yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu kemudian ditokohkan oleh masyarakat sekitar. Dia dimakamkan disamping kuda kesayangannya sesuai dengan wasiat sebelum wafatnya.
Masyarakat mempercayai Sosok Nyai Rantansari adalah sebagai Danyang atau sebangsa Jin perempuan yang masih memiliki ikatan dengan penguasa Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul. Konon, dia suka memakai pakaian hijau pupus. Maka, kepercayaan masyarakat Bumiayu, adalah pantang bagi orang memakai pakaian dengan warna yang sama saat masuk ke Dukuh Kramat, terlebih saat memasuki kawasan Candi Kramat.
Nah, ketika mental Amangkurat I benar-benar jatuh dan kehilangan semangat hidup inilah, patut diduga Mas Rahmat (anak dari permaisuri pertama) melihatnya sebagai kesempatan. Menurut catatan Babad Tanah Jawi, setelah kelelahan dalam pelariannya mencapai puncak, Amangkurat I jatuh sakit. Dia dirawat dan ditemani oleh Mas Rahmat. Namun dituliskan jika kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat.
Meski demikian, dia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di Desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal.
untuk lebih jelasnya kita bisa ulas lebih dalam lagi kisah nya atau dongengnya di bawah ini :
SETELAH kuda penarik kereta Amangkurat I, kelelahan, mendadak terdengar suara angin menderu dan membahana. Seolah memecah keheningan rombongan Sunan Amangkurat I. Dia dan rombongannya merasa seperti ada yang sedang memburunya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Maka, lari secepatnya adalah pilihan terbaik yang dapat dilakukan rombongan saat itu. Sehingga tempat berlarinya rombongan tersebut oleh masyarakat sekarang dikenal dengan nama Pagojengan, berasal dari kata “nggojeng” yang berarti ; berlari cepat.
Hingga akhirnya, Sunan Amangkurat I dan bala tentaranya memasuki suatu wilayah, dimana rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama “Daha”. Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.
Bukan main sedihnya hati Amangkurat I, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu di suatu tempat yang sekarang bernama Karangjati. Agak lama Amangkurat I dan rombongan berada di tempat tersebut. Dia telah mengalami beberapa peristiwa yang mengguncangkan hatinya.
Saat itu dia baru sadar, jika segela peristiwa yang menyedihkan ini, akibat dia lalai menjalankan amanat sebagai Sultan Mataram. Seperti pesan dan petuah ayahanda dan kerabat keluarga Kesultanan Mataram. Dia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.
Begitu mendalam pula kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian dia meminta izin kepada Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati mengurus kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya. Akibatnya, dengan tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan perjalanan, maka Amangkurat I pun menjadi tidak memiliki semangat.
Satu-satunya harapan yang sekarang dia miliki hanyalah bertemu dengan seseorang yang bisa mengobati kegundahan hatinya dan meluruskan langkah kehidupannya. Sesaat dia memandang sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung Slamet yang menjulang tinggi ke angkasa, didampingi pebukitan yang setia menemani keperkasaannya.
Sementara lerengnya, terhampar area pesawahan yang merupakan panorama keindahan alam sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih dalam kekuasaan pemerintahannya di Mataram dengan masyarakat yang ramah dan religius, begitu pikirnya. Decak kagumnya, mengundang hasratnya untuk memberikan nama wilayah ini dengan nama Bumiayu.
Di sinilah Amangkurat I, kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita yang memikat hatinya. Dia berusaha menghampiri wanita itu, namun semakin cepat dia berusaha meraihnya semakin cepat pula wanita itu lenyap dari pandangan matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah tempat dimana dia melihat wanita itu masuk dan hilang tak berbekas.
Betapa terkejutnya Amangkurat I, ketika mendadak muncul suara tanpa rupa yang menasehatinya supaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk memperolehnya dia harus terus berjalan ke utara bukan ke barat. Di bawah pohon beringin besar, dia tertunduk lesu sembari menyadari kealpaannya selama ini. Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat (yang berarti keramat/wingit atau angker) dan terdapat Candi Kramat yang dipercaya masyarakat setempat dihuni oleh Nyai Rantansari.
Sosok wanita ayu itu juga yang ikut memiliki peran atas penamaan Bumiayu ini. Menurut Sunan Amangkurat I, pemberian nama Bumiayu ini memang selain memiliki panorama alam yang sangat indah, juga karena wilayah ini “dikuasai” oleh Nyai Rantansari yang memiliki kecantikan tiada tanding.
Sementara itu, Desa Daha ini leluhur dan pendirinya berasal dari Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur. Sekarang desa tersebut bernama Negaradaha berada di Wilayah Kecamatan Bumiayu. Di desa tersebut juga terdapat suatu tempat bernama Candi Nyai Rantansari yang dipercaya memiliki hubungan dengan Candi Kramat di Bumiayu yang juga Nyai Rantansari sebagai Danyang yang Mbahurekso tanah Bumiayu.
Dukuh Karangjati terletak di Desa Kalierang, Kecamatan Bumiayu. Terdapat sebuah tempat dimakamkannya Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya, yang sekarang tempat tersebut dikenal oleh masyarakat dengan nama Candi Pancurawis.
Sampai akhir hayatnya, Kyai Pancurawis yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu kemudian ditokohkan oleh masyarakat sekitar. Dia dimakamkan disamping kuda kesayangannya sesuai dengan wasiat sebelum wafatnya.
Masyarakat mempercayai Sosok Nyai Rantansari adalah sebagai Danyang atau sebangsa Jin perempuan yang masih memiliki ikatan dengan penguasa Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul. Konon, dia suka memakai pakaian hijau pupus. Maka, kepercayaan masyarakat Bumiayu, adalah pantang bagi orang memakai pakaian dengan warna yang sama saat masuk ke Dukuh Kramat, terlebih saat memasuki kawasan Candi Kramat.
Nah, ketika mental Amangkurat I benar-benar jatuh dan kehilangan semangat hidup inilah, patut diduga Mas Rahmat (anak dari permaisuri pertama) melihatnya sebagai kesempatan. Menurut catatan Babad Tanah Jawi, setelah kelelahan dalam pelariannya mencapai puncak, Amangkurat I jatuh sakit. Dia dirawat dan ditemani oleh Mas Rahmat. Namun dituliskan jika kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat.
Meski demikian, dia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di Desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal.
1 komentar:
fotonya mana brooo....
Posting Komentar
pembaca yang baik selalu,memberi comentar yang baik pula,buat artikel aljinet ini,biar ada masukan lebih dan memgembangkan blog aljinet ini,untuk itu disarankan comentlah artikel kami,beri kritikan yang pedas tidak masalah,silakan di coment kawan