Mari coba kita baca, renungkan dan resapi tulisan di bawah ini.
Hujan kian deras mengguyur bumi
. Sesekali aku harus memeluk Dafa yang
masih bayi ketika suara guruh menggedor-gedor pintu langit dengan
kerasnya. Aku memandang sayu ke arah anak-anakku yang tertidur di atas
tikar pandan.
Duhai.. alangkah indah dan sucinya wajah mereka.
Kutatapi wajah mereka satu persatu dengan nikmatnya. Demikiankah wajah
bidadari kecil dari syurga Allah?
Sejenak aku terlupa betapa
seperempat jam yang lalu ketiga bidadariku itu menangis karena lapar
yang tidak tertahankan. Zakia yang paling besar menangis dengan keras
sekali sambil menghentak-hentakkan kaki.
"Zakia lapar, Umi.
Lapaar..mana nasinya?" Sementara Yamin yang masih tiga tahun hanya bisa
merengek-rengek panjang dengan kosa kata yang terbatas, "Umi, mo mamam,
Umi."
Kutatapi segenggam beras yang masih tersisa.
Subhanallah..teringat aku kepada Mas Darman, Abinya anak-anak. Tadi
pagi ia berangkat tanpa sarapan apapun kecuali segelas air sumur yang
kumasak dengan kayu api. Bagaimana kalau hari ini Abi tidak berhasil
membawa seliter beraspun seperti kemarin.
Abi cuma kuli upahan
yang membawa cangkul ke mana-mana. Syukur sekali jika ada truk yang
menawarkan kerjaan menurunkan pasir atau mengisi tanah merah. Dari kerja
ikut truk biasanya Abi bisa dapat uang delapan ribu rupiah.
Alhamdulillah cukup untuk beli beras dua tiga liter.
Kemarin
Abi juga hanya sarapan segelas air sumur. Kuselipkan di saku celananya
yang lusuh uang seribu rupiah. Malam harinya Abi pulang dengan seulas
senyum kepasrahan.
"Dapat kerjaan tadi, Bi?"
"Alhamdulillah, belum, Mi."
"Tadi siang sempat makan, nggak?"
"Umi kan ngasih uang seribu rupiah. Abi belikan roti tujuh ratus rupiah. Nih sisanya masih tiga ratus."
"Memang masih ada roti harga tujuh ratus?"
"Ada, tapi kayaknya harga aslinya seribuan deh. Mungkin Mas Budi ngasih diskon ke Abi.".
Abi tersenyum manis kepadaku sambil menyerahkan sisa uang tiga ratus ke
tanganku. Laa hawla walaa quwwata illa billaah[1]. Berarti hari ini Abi
cuma makan sepotong roti tujuh ratusan. Dan itu juga berarti besok
tidak bisa beli beras. Kuamati sisa beras yang cuma tinggal dua genggam
lagi dan tiga keping uang logam seratusan di telapak tanganku yang diam
membisu.
********
Pagi itu aku tidak tega membiarkan
Abi memanggul cangkulnya dengan perut berisi air sumur. Kutanak beras
segenggam dengan air yang agak banjir dan kucampur dengan beberapa
sendok tepung gandum. Rasanya? Aduh..jangan tanya deh. Yang penting ada
kalori yang mengisi badan suamiku. Kasihan..sudah dua hari perutnya
tidak diisi apa-apa.
"Umi, biar saja nasi itu buat anak-anak kita." Kata suamiku.
Aku tersenyum manis kepadanya dengan meredam seluruh kesedihan dan kecemasanku di hari itu.
"Nggak, yang ini untuk Abi. Nanti buat anak-anak Umi siapkan pisang
rebus". Dalam hati aku bergumam, pisang rebus dari mana? Pisang mentah
yang dibawah Mas Darman kemarin sudah habis dimakan anak-anak. Namun
setidaknya bujukanku berhasil. Mas Darman mau memakan sarapan nasi
campur tepung gandum itu.
Pagi itu aku tidak memberikan sarapan
kepada anak. Kurebus saja air campur sedikit gula jawa yang masih
tersisa. Kuberikan semuanya kepada mereka. Aku cuma membasahi
tenggorokan dengan seteguk air. Tetapi jam sepuluh pagi anak-anakku yang
sedang dalam masa pertumbuhan itu mulai merengek-rengek minta makan.
Mereka bahkan secara dramatis menguji kesabaranku dengan
menunjuk-nunjuk tukang bubur dan ketupat tahu yang lewat di depan rumah
petak kami. Padahal tidak pernah sekalipun aku menyuapi mereka dengan
makanan semewah itu. Ya Allah ..mungkin rasa lapar yang mendesak mereka
bersikap secara natural seperti itu.
Kubujuk mereka dengan
kepandaianku bercerita. Mereka suka mendengar ceritaku sehingga
tersenyum-senyum gembira. Untuk beberapa saat rasa lapar dapat kami
lupakan..
Namun setelah sholat Zuhur mereka kembali menyuarakan
pesan yang dihembuskan dari lambung-lambung yang kosong. Kutatap
segenggam beras terakhir yang menjadi tapal batas pertahanan terakhirku.
Kumasak segenggam beras menjadi bubur yang sangat cair. Kububuhkan
sedikit garam ke dalamnya Anak-anakku makan dengan lahap sekali. Nafas
mereka mendengus-dengus saking lahapnya.
Sayang mereka harus
menggigit jari saat meminta tambahan. Bubur itu sudah habis. Kubawa
panci itu kebelakang dan kusapu sisa bubur itu dengan jari-jariku.
Kemudian akupun kembali mengisi kekosongan perut dengan air sumur yang
dingin.
Anak-anakku tertidur pulas. Melihat wajah mereka saat
tidur merupakan salah satu hiburan yang mewah bagi jiwaku yang sedang
kalut dan cemas. Mudah-mudahan Mas Darman cepat pulang dan membawa
sedikit beras untuk makanan mereka.
***********
Awal
menikah dengan Mas Darman yang sekarang menjadi ayah anak-anakku,
masalah ini tidak pernah terjadi. Dulu semua orang termasuk diriku
sendiri heran bin ajaib, mengapa anak seorang tentara seperti aku kok
jatuh cinta dengan Darman yang cuma tukang bakso.
Dilihat dari
tampang memang tidak ada seorangpun yang dapat menafikan
kegantengannya. Tapi suer ..aku naksir dia bukan karena kegantengannya.
"Melangkah ke jenjang rumah tangga itu tidak cukup hanya dengan berbekal cinta." Papa menegurku dengan bahasa yang klise.
"Pokoknya Mama cuma mau kamu nikah sama Gunawan yang calon dokter itu.
Lain orang Mama tidak setuju". Mama menyebut-nyebut lagi nama Mas
Gunawan. Padahal semua orang tahu dia sudah punya pacar. Apa belum ada
yang bilang ke Mama.
Berhari-hari mereka membujukku dengan
berbagai cara. Akhirnya mereka meminta kak Mita, kakakku yang sudah
menikah untuk membujukku. Hmm..Kak Mita sangat sayang padaku dan pasti
akan senantiasa membelaku. Kesempatan itu justru akan kugunakan untuk
balik membujuk kak Mita.
"Yuli sayang..bagaimana sih ceritanya kok kamu bisa kecantol sama Mas Darman?"
"Hmm..Tepatnya aku sendiri tidak tahu, kak. Tapi aku merasa terpesona
dengan keindahan suaranya ketika mengumandangkan azan Subuh. Tentang
ini Papa juga setuju lho sama aku".
"Terus.."
"Suatu
hari aku memberhentikan gerobak baksonya. Aku beli semangkok bakso
sambil mengucapkan terima kasih karena telah membangunkanku setiap
Subuh."
"Terus.."
"Dia cuma menjawab, Ya sambil terus
menundukkan pandangan. Semua pertanyaanku dijawabnya singkat tanpa
berani menatap mataku. Melihat sikapnya yang sopan itu hatiku jadi
berbunga-bunga. Kayaknya di situlah hatiku mulai tersangkut, kak Mitaku
sayang."
"Terus.."
"Ya..sejak hari itu akupun bergerilya untuk menawan hatinya. Alhamdulillah, dia akhirnya mengirim sepucuk surat kepadaku."
"Tapi Ya Allah, Yuli..dia kan cuma tukang bakso. Gerobak aja masih
belum punya sendiri. Asal-usulnya dari Brebes juga nggak jelas." Kak
Mita berdiri menghindari pelukanku. Panas juga kupingku mendengar kak
Mita merendahkan Mas Darman. Nampaknya usahaku untuk menjadikan Kak Mita
pendukung cintaku tidak berhasil.
"Dia bukan cuma tukang bakso, kak. Dia tukang bakso yang soleh."
"Adikku yang manis .. dengar sini baik-baik, ya. Pikirkan dulu dong
masak-masak. Kamu yakin si Darman itu bisa membahagiakan kamu dan
mencukupi keperluan kamu?"
"Kalau membahagiakan Yes, aku yakin.
Tapi kalau mencukupi keperluan, bukankah keperluan kita selama ini
Allah yang memberi, kak?"
"Yuli, menjalani kehidupan rumah
tangga itu sangat sulit. Tidak bisa kita terus hidup hanya dengan
setumpuk cinta di dada. Emangnya makanan pokok kamu cinta, apa?"
"Cinta memang tidak bisa dimakan, kak. Yang bisa dimakan itu nasi. Tapi
makan nasi di depan orang yang tidak kita cintai juga pasti tidak enak
kan kak."
Kak Mita benar-benar tidak mengerti lagi bagaimana
menghadapiku. Dia bilang sejak aku sering liqo'[2] pemikiranku jadi aneh
dan tidak karuan. Aku bilang justru sekarang aku merasa bahagia karena
akibat liqo' kini aku bersikap, berpikir dan bertindak hanya menurut
kehendak Allah saja.
Keluargaku menyadari kekerasan hatiku
dalam masalah pilihan hidup. Mereka merasa tidak akan pernah bisa
mengalahkanku. Papa takut juga ketika kuancam bahwa dosa cinta kami akan
Papa tanggung jika kami dihalangi menikah. Padahal, aku cuma
nakut-nakuti doang. Tapi 'gerilyaku' berikut ancaman itu membuahkan
hasil. Papa akhirnya setuju untuk menerima kedatangan keluarga Mas
Darman ke rumah kami.
Mas Darman memberanikan diri ke rumah
ditemani Ibunya yang baru datang dari kampung. Papa hanya menahan nafas
melihat buah tangan yang dibawa keluarga Mas Darman; sekarung bawang
merah dari Brebes. Sementara Mama tidak memperlihatkan mukanya sampai
Mas Darman dan ibunya pulang.
Dua bulan kemudian kami pun resmi
menikah. Pernikahan kami berlangsung secara sederhana sekali. Mas
Darman cuma bisa ngasih satu setengah juta rupiah. Maka setelah Ijab
Kabul[3], kami cuma mengadakan doa selamat dengan mengundang tetangga
dan keluarga terdekat saja
Seusai acara Papa mengajakku berbicara empat mata.
"Yuli, sekarang kamu telah menetapkan kehidupan kamu sendiri.
Berbaktilah kepada suamimu dengan sepenuh hati. Tanggung jawab
menafkahimu kini beralih kepada suamimu. Papa tidak boleh terlalu
mencampuri urusan keluargamu. Tapi nak, ini ada uang tiga puluh juta.
Memang dari dulu Papa sengaja nabung untuk keperluan kamu setelah
menikah. Gunakanlah uang ini sebaik-baiknya."
Aku terharu
menyadari betapa sayangnya Papa padaku. Aku menerima uang itu dengan
tangan bergetar. Uang dari papa itu kami gunakan untuk membeli sebuah
rumah petak kecil di kawasan perkampungan. Sisanya dipakai Mas Darman
untuk modal jualan bakso.
Berkat ketekunannya usaha Bakso Mas
Darman cukup maju. Mulai dari berjualan bakso dengan gerobak dorong Mas
Darman menapak selangkah demi selangkah sampai akhirnya mampu menyewa
sebuah tempat untuk warung bakso. Kami menamakannya warung bakso
'Tawakal', sesuai dengan prinsip hidup Mas Darman.
Pelanggan
warung bakso Tawakal bertambah hari demi hari. Disamping bakso Tawakal
enak dan ngegres[4], Mas Darman juga sangat ramah kepada pelanggan.
Ketika usaha bakso itulah kami dianugerahi Allah tiga orang anak-anak
yang lucu. Rasanya sempurna sudah kebahagiaan yang kurasakan bersama Mas
Darman.
Namun benar kata Nabi Muhammad saw; jika Allah sayang
kepada seseorang maka Dia akan mengujinya. Ujian yang kami terima di
tengah sepoi angin kebahagiaan itu tidak tanggung-tanggung. Warung
Bakso Tawakal dituduh telah mencampuri baksonya dengan daging tikus! Ya
Allah .Ya Gusti. Alangkah jahatnya fitnah itu.
Aku sendiri
sempat membaca selebaran fitnah itu yang katanya juga disebarkan melalui
milis internet. Di situ tertulis pengalaman seorang bekas pelanggan
bakso Tawakal yang mengaku melihat sendiri kepala-kepala tikus saat
kebetulan numpang pipis ke belakang. MasyaAllah! Keji betul fitnah itu.
Mana mungkin Mas Darman yang setiap pagi azan Subuh di masjid mencampuri
daging baksonya dengan daging tikus!
Dampak fitnah yang keji
itu sungguh luar biasa. Warung Bakso Tawakal yang tadinya bisa menjual
minimal tiga puluh mangkok sehari turun drastis. Untuk dapat lima
mangkok sehari saja susahnya bukan main. Sampai akhirnya Mas Darman
mengover kreditkan sewa warung ke orang lain. Usaha warung bakso kami
resmi gulung tikar.
Seperti biasanya Mas Darman tetap senyum
dan optimistis. Sisa uang yang ada dibelikan gerobak dan mulailah ia
kembali mendorong baksonya keliling kampung.
Sayang ternyata citra buruk itu tidak hanya melekat ke warung bakso Tawakal yang sekarang sudah 'almarhum'.
Bagaikan bayang-bayang badan, fitnah itu tetap menyertai Mas Darman ke
manapun ia pergi. Alih-alih mendapat untung, gerobak bakso yang didorong
Mas Darman keliling kampung malah menjadikan mulut orang gatal. Fitnah
itu kian kuat tersebar.
Bahkan pernah ada seseorang yang
dulunya penggemar Bakso Mas Darman meludah jijik di depan gerobak. Saat
itulah hati Mas Darman benar-benar pedih. Hari itu juga ia memutuskan
untuk berhenti jualan bakso dan menjual gerobak dorongnya ke orang lain.
Mulailah kami menghitung hari dengan sisa uang yang ada. Keran
pengeluaran kuperketat habis-habisan. Pengeluaran hanya untuk makan dan
tidak ada pengeluaran untuk yang lain.
Meskipun tetap mengumbar
senyum manisnya kepadaku, Mas Darman sering juga tertekan memikirkan
pekerjaan apa yang dapat dilakukannya untuk tetap menghidupkan dapur
keluarga. Aku sering menemaninya berdiskusi tentang mata pencaharian
baru.
"Pekerjaan yang Abi tahu dari dulu Cuma jualan bakso, Umi."
"Abi kan bisa jualan lain, seperti gorengan misalnya, atau ketoprak?", kataku.
"Umi benar. Tetapi untuk jualan makanan rasanya masyarakat sudah tidak bisa lagi mempercayai Abi. Biarlah Abi coba cara lain."
"Cara lain seperti apa?", tanyaku.
"Begini, dulu di Brebes Abi sering bantuin petani bawang merah di
kebun. Jadi Abi cobalah membawa cangkul kita ini untuk mencari nafkah.
Kebetulan di ujung jalan depan suka ada truk yang berhenti mencari kuli
cangkul."
"Kuli cangkul? Apa nggak ada pekerjaan lain, Abi?"
"Ya, buat saat ini rasanya hanya itu yang rasional. Persediaan beras kita juga sudah semakin tipis, kan?"
Ucapan Mas Darman bahwa sewaktu di Brebes dia biasa nyangkul, tidak
sepenuhnya bisa kupercaya. Setahuku dia itu anak sekolahan yang drop out
karena kekurangan biaya dan akhirnya memberanikan diri merantau ke
Jakarta. Aku tidak yakin badannya tahan dipakai untuk nyangkul.
Ternyata kecurigaanku benar. Sore harinya Mas Darman pulang dengan
badan keletihan dan telapak tangan mengelupas. Aku hanya bisa menangis
sambil memijiti tubuhnya dan melumuri tangannya yang melepuh dengan
tumbukan daun keladi dicampur putih telur.
Dalam kepedihan itu,
Mas Darman masih mengajakku untuk beryukur kepada Allah. Memang Allah
telah menebarkan dalam dirinya kekayaan hati. Justru ketabahan dan
kepasrahan Mas Darman sering menjadikan tangisku berhenti.
*******
"Umi, mana makannya. Zakia lapar.". Suara Zakia tidak lagi sekeras
tadi. Matanya yang kuyu memandangiku dengan setengah keyakinan. Justru
adik-adiknya yang kini malah menangis tak henti-hentinya. Yamin
kelaparan dan Dafa menangis karena tidak mendapatkan apa-apa pada puting
susuku.
Kugagahkan langkah menuju dapur. Tidak ada apa-apa
lagi di sana kecuali beberapa sendok tepung gandum. Kutatapi gandum
putih yang saat ini nilainya sama dengan nyawa anak-anakku. Ya Allah..
berat benar bahasa cinta-Mu kepada kami. Jadikanlah kami orang-orang
yang memahami embun-embun cinta yang Kau nyatakan dalam bahasa lapar
ini.
Sebenarnya tiga sendok gandum itu kusediakan untuk Mas
Darman. Entah mengapa aku tidak yakin hari ini ia berhasil dapat
kerjaan. Tapi keluhan anak-anakku benar-benar hampir memutuskan tali
jantungku. Maka kurebuslah tiga sendok gandum itu dengan air sumur dan
sedikit garam dapur.
Hanya bubur gandum yang cair itu saja yang
dapat kuhidangkan untuk mereka. Tanganku menyuapi mereka dengan
setengah gemetar menahan lapar. Mulut mereka menerimanya dengan lemah
dan mata yang kuyu. Belum sampai ke suapan terakhir ketiga-tiganya telah
berbaring keletihan dan tertidur.
Kuseret langkah ke kamar
mandi. Kubasahi wajah dengan air wudhuk. Aku tidak sabar untuk
merintihkan semua luka ini kepada Yang Maha Pencipta. Akupun terbenam
khusyuk dalam sujud-sujud yang panjang.
Setelah salam, kuangkat
tangan tinggi-tinggi dan kurintihkan sederet doa agar Allah segera
meringankan kami sekeluarga dari penderitaan ini. Semoga doaku tidak
terhalang oleh bunyi hujan yang masih turun dengan derasnya. Keletihan
membuat badanku terkulai dan tertidur di atas sajadah.
*********
Aku tersentak bangun. Rupanya hujan sudah lama berhenti. Kutatapi jarum
jam tua yang hampir mendekati angka sebelas. Mengapa Mas Darman belum
pulang juga? Hatiku bertambah risau dan cemas. Apa yang menimpanya hari
ini? Oh.. ya Allah aku jadi sangat merinduinya. Detik-detik terasa kian
menyiksa dalam menanti kepulangannya.
Alhamdulillah tidak berapa lama kemudian kudengar suaranya mengetuk pintu.
"Umi, Umi..buka pintu sayang." Akupun bergegas membuka pintu. Mas
Darman berdiri di pintu dengan senyuman yang manis. Hah.. Subhanallah
ada bau masakan yang sangat menggoda perut laparku dalam bungkusan yang
dibawanya.
"Nah Umi pasti belum makan, kan? Ayo sekalian
bangunkan anak-anak. Ini Abi bawakan dua bungkus sate padang dan dua
bungkus serabi manis. Pas seperti Manna dan Salwa[5] hidangan Allah
untuk mereka yang soleh."
"Subhanallah, dari mana Abi dapat uang membelinya?"
"Makan dulu sayangku. Nanti Abi ceritakan. InsyaAllah yang ini Halalan Toyyiban[6]."
Maka anak-anakpun aku bangunkan. Mereka juga rindu dengan Abinya. Mas
Darman memeluk mereka dalam canda yang ceria. Setiap pulang Mas Darman
membawa kebahagiaan dalam hati anak-anak kami. Kami pun menikmati
makanan itu dengan lahapnya. Aku bahagia sekali melihat mata anak-anakku
berbinar-binar menikmati kue serabi yang manis.
"Enak ya, Umi. Terima kasih ya Abi sudah belikan Zakia serabi." Zakia berbicara dengan mulut penuh dengan makanan.
"Ya sayang. Zakia harus rajin berdoa ya agar Allah terus menerus memberi kita rezeki seperti ini."
"Baik Abi. Umi juga sudah ngajarin Zakia cara berdoanya."
*************
Malam itu aku berbaring di atas lengan Mas Darman. Kucubiti perutnya
supaya dia menceritakan kepadaku asal usul makanan itu. Sebab dari tadi
dia cuma bilang dari Allah..dari Allah.
"Tentu saja semuanya dari Allah, Abi. Tapi tentu ada sebabnya?" kataku.
"Ya, ya..baik ndoro puteri. Begini ceritanya ..Dari pagi tadi Abi sudah
setengah putus asa menunggu truk-truk pasir itu. Ada beberapa yang
lewat tapi tidak mau mengambil Abi. Alasannya sekarang mereka sudah
punya pekerja tetap di pool pasir. Akhirnya menjelang sore Abi bawa kaki
melangkah ke mana saja ia ingin melangkah.
Menjelang sholat
Ashar Abi menyahut panggilan azan dari sebuah masjid dalam kompleks
perumahan. Abi kenyangkan perut dengan air keran supaya jangan ingat
makanan ketika sholat. Duh..segar benar rasanya. Kemudian Abi pun ikut
sholat berjamaah. Setelah sholat ada seorang jamaah masjid yang
bertanya.
"Mas bawa-bawa cangkul mau kemana?"
"Saya mau cari kerjaan, Pak. Apa saja."
"Bisa membersihkan dan merapikan taman?"
"InsyaAllah bisa, Pak."
Maka Abipun ikut bapak itu ke rumahnya untuk membersihkan taman.
Menjelang Maghrib pekerjaan itu selesai. Bapak itu memberikan uang cukup
banyak, Mi. Lima puluh ribu! Nah, sebelum pergi, Abi melihat bapak itu
meringis memegangi punggungnya. Rupanya bapak itu mengalami sakit
punggung. Abi tawarkan kepadanya untuk diurut."
"Memangnya Abi bisa ngurut?" Aku menyela dengan sebuah pertanyaan.
"Ya itulah salah satu kemahiran Abi yang agak ajaib. Sebenarnya Abi
tidak pernah belajar mengurut. Tapi Ibu bilang urutan Abi enak dan
menyehatkan. Maka banyak juga dikampung orang yang minta diurut sama
Abi. Nah, Umi rupanya urutan Abi juga mengena ke urat bapak ini. Dia
merasa enak dan lega setelah diurut sama Abi. Umi tahu apa yang terjadi?
Subhanallah, dia mengeluarkan lagi uang lima puluh ribu!"
Aku
memandang mata Mas Darman dengan penuh haru. Kulihat ada secercah
harapan pada bola matanya. Kami berdua berpelukan bahagia sambil terus
menggumamkan pujian kepada Allah.
"Ya Allah betapa besar syukur
kami kepadaMu. Engkau bawa kami ke puncak cobaan, agar dapat lebih
mensyukuri sedikit rezki yang Engkau teteskan hari ini. Kami sangat
memahami ya Allah, bahwa Engkau masih tetap sayang kepada kami."
Semoga rintihan doa kami berdua dapat terus mi'raj menembus langit
menuju pangkuan Ilahi, dan tidak lagi terbenam dalam deru hujan yang
kembali turun dengan derasnya.
Posted in: kisah islam
0 komentar:
Posting Komentar
pembaca yang baik selalu,memberi comentar yang baik pula,buat artikel aljinet ini,biar ada masukan lebih dan memgembangkan blog aljinet ini,untuk itu disarankan comentlah artikel kami,beri kritikan yang pedas tidak masalah,silakan di coment kawan